Muzakir (Foto: Ist) |
RILIS.NET, Aceh Timur – Ketua LSM Komunitas Investigasi dan Advokasi Nanggroe Aceh (KANA) Muzakir menilai pemotongan penghasilan tetap (Siltap) Keuchik yang saat ini mencapai Rp 2 juta lebih masih dalam hal yang wajar mengingat adanya pengurangan Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat.
Muzakir juga turut mengkritik sikap Apdesi Aceh Timur yang dinilainya kurang memahami regulasi tentang refokusing dan kebijakan anggaran yang diprioritaskan untuk penanganan Covid-19 oleh pemerintah pusat.
“Apdesi sepertinya kurang memahami kebijakan anggaran ditengah wabah pandemi saat ini, apalagi telah adanya perubahan DAU untuk Provinsi di seluruh Indonesia,” kata Muzakir.
Langkah advokasi untuk memperjuangkan kepentingan perangkat Gampong oleh Apdesi Aceh Timur harus bisa memahami kondisi, menurutnya mereka harus juga melihat kemampuan daerah. Sebagai aparatur pemerintah di tingkat desa seharusnya Apdesi harus mendukung dan sejalan dengan pemerintah daerah, bukan justru dengan mengeluarkan statemen yang sesat seperti ancaman mengembalikan stempel.
“Menurut saya jika ada Keuchik yang mau mengundurkan diri silahkan saja, masih banyak masyarakat lainya yang menunggu jabatan itu, dan bila perlu bisa dilakukan Pj oleh Bupati. Ini perlu kami sampaikan bahwa Pemda tidak perlu ragu dalam mengambil kebijakan jika itu sangat perlu dilakukan,” ujar Muzakir.
Ketua LSM KANA ini juga menambahkan, bila dibandingkan gaji Keuchik yang mencapai Rp2 juta lebih, masih jauh lebih besar dibandingkan gaji Tuha Peut Gampong (TPG) di Aceh Timur, yang hanya lebih kurang Rp400 ribu rupiah, kerjanya juga berat dalam mengawasi anggaran dan juga terlibat dalam penyelesaian sejumlah persoalan di desa, begitu juga dengan imum Gampong.
“Lihatlah besaran gaji TPG dan Imum Gampong masih hanya ratusan ribu, mereka juga punya tanggung jawab besar, namun masih dapat memahami dengan kondisi. Dan jika dibandingkan kerja aparatur Gampong saat konflik Aceh sangat berat gajinya juga sangat jauh lebih kecil saat itu, tapi karena mereka niat tulus ikhlas untuk memimpin desa maka bisa menerima, dan yang mereka pikirkan adalah untuk masyarakat, tidak mengutamakan kepentingan pribadinya,” tambah Muzakir.
LSM ini juga meminta kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur agar tidak mengakomodir permintaan APDESI terkait dengan pemotongan Siltap.
“Untuk itu kami meminta pihak Pemkab Aceh Timur untuk tidak mengakomodir permintaan APDESI yang saat ini tampak terlalu maju dan tidak sehaluan dengan Pemda Aceh Timur, jika ada yang mengembalikan stempel silahkan saja, karena masih banyak masyarakat lain yang mau menduduki jabatan Keuchik,” tegas Muzakir.
Menurutnya, wajar jika Pemerintah Daerah melakukan pemangkasan, dikarenakan kondisi negara sedang dilanda wabah covid-19, maka sudah sewajarnya pengurangan penghasil tetap Aparat Gampong dilakukan oleh pemerintah.
“Apabila ada perangkat yang tidak senang dengan kebijakan pemerintah daerah lebih baik mundur saja. Bila tidak sanggup lagi mengemban jabatan sebagai aparat Gampong, lebih baik serahkan saja stempel kepada masyarakat dengan alasan gaji tidak cukup,” tambah Muzakir.
Memang regulasi pembayaran Siltap telah diatur dalam PP 11 tahun 2019 namun Bupati sudah menjelaskan dengan alasan yang sangat mendetil karena Pemkab Aceh Timur kekurangan DAU “Seharus APDESI paham akan hal tersebut,” Jelasnya.
Ketika pemerintah tidak mampu membayar sudah sewajarnya terjadi pemangkasan angaran sebesar tiga bulan bagi aparat Gampong.
“Masak baru tiga bulan saja gajinya tidak dibayar dengan honor sebesar Rp 2 juta rupiah lebih itu sudah membuat aksi, sementara TPG yang honornya sebesar Rp 400 ribu rupiah saja tidak pernah melakukan aksi untuk menuntut kenaikan honor,” terangnya.
Tuha Peut, SK-nya ditandatangi oleh Bupati seharusnya tambah Muzakir, mereka lebih besar honornya. “Sementara perangkat Gampong yang SK nya dikeluarkan oleh Keuchik dengan honor besar masih saja mempersoalkan terkait pemotongan Siltap tersebut,” tambahnya. (rn/red)
Editor: Mahyuddin Kubar