Senator DPD RI Asal Aceh Fakhrul Razi (Doc. rilisNET) |
Dia menambahkan, bahwa prioritas utama dalam undang-undang itu adalah pasal yang membatasi Dana Otsus selama 20 tahun, dan dia minta agar itu dihapus dan tanpa harus ada batasan waktu serta tetap memasukkan dana otsus selamanya dalam Revisi UU PA kedepan.
Fachrul Razi menjelaskan, bahwa banyak pasal UUPA yang direvisi melalui putusan Mahkamah Konstitusi. “Sudah 13 tahun usia UUPA menjadi masalah besar di dalam proses pembangunan Aceh karena terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan MoU Helsinki, inikan undang-undang tipu-tipu. Maka kita meminta agar Dana Otsus tanpa ada batasan waktu,” tegas politisi muda asal Aceh ini, Kamis (14/11) di Jakarta.
Dirinya memastikan mulai tahun 2020-2022 atau tiga tahun DPD RI akan melakukan asesmen, kunker menerima masukan dari Pemerintah Aceh, DPRA dan Rakyat Aceh serta melakukan rapat dengar pendapat hingga menyusun draft perubahan.
Dirinya merekomendasikan agar UUPA direvisi sesuai dengan MoU Helsinki, dan pemerintah pusat tidak perlu curigai dan apriori dengan perjanjian damai ini, kata Fachrul, karena dengan membangun kepercayaan kedua belah pihak perdamaian abadi dapat terwujud melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan dan Konstitusi Republik Indonesia.
Tambah dia, tujuan perdamaian Aceh melalui MoU Helsinki adalah penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Perjanjian ini melahirkan pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan menuju Aceh yang maju dan berhasil.
Fachrul Razi mengatakan, latar belakang dan tujuan penyusunan draft revisi perubahan RUU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh adalah Desentralisasi asimetris yang secara konstitusi dan diatur dalam UU NKRI 1945 Pasal 18B ayat (1).
Dirinya menambahkan bahwa beberapa kewenangan yang menjadi urusan Pemerintahan Aceh masih belum diberikan sepenuhnya kepada Pemerintah Aceh oleh Pemerintah Pusat seperti kewenangan di bidang pertahanan.
Selain itu bahwa perubahan RUU Pemerintahan Aceh adalah mempercepat demokratisasi dan keadilan di Aceh, memperjelas kewenangan dan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota.