Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berbicara soal vonis Mahkamah Konstitusi (MK), salah satunya terkait dengan UU Cipta Kerja dalam Forum Guru Besar KAHMI.
Mahfud dalam webinar Forum Guru Besar Insan Cita (FGBIC) secara daring, Minggu malam, menyambut baik dan mendorong pelaksanaan diskusi dan perdebatan dengan segala kontroversinya atas vonis Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan UU Cipta Kerja.
“Diskusi-diskusi yang seperti ini bermanfaat untuk penguatan hukum tata negara ke depannya, terutama untuk menguatkan fungsi dan peran MK,” kata Mahfud dalam siaran persnya.
FGBIC adalah forum kajian yang pada umumnya beranggotakan akademisi yang tergabung di dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Dalam organisasi ini Mahfud MD sebagai ketua dewan pakar.
Hadir sebagai narasumber utama pada webinar itu pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra dengan pembahas Prof. Susi Dwi Harjanti, Prof. Didin S. Damanhuri, Prof. Nurliah Nurdin, dan Dr. Ali Syafaat dengan moderator Prof. Nurul Baruzah.
Menurut Mahfud, vonis MK boleh didiskusikan dengan berbagai pendapat atau teori-teori. Akan tetapi, yang berlaku adalah amar putusan MK itu sendiri.
Mahfud lantas mengemukakan dalil usul fikih yang juga berlaku dalam hukum peradilan secara universal yakni, hukmul haakim yarfaul khilaaf. Putusan hakim yang inkrah itu berlaku mengikat dan menyelesaikan sengketa, terlepas dari adanya orang yang setuju atau tak setuju.
“Putusan MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Akan tetapi, masih berlaku selama 2 tahun atau sampai diperbaiki. Itulah yang berlaku mengikat,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Menurut dia, diskusi-diskusi atau kritik teoritis atas vonis MK itu sangat perlu karena tiga hal.
Pertama, untuk mengembangkan studi-studi hukum tata negara; Kedua, untuk memperluas pengenalan masyarakat terhadap eksistensi MK dalam ketatanegaraan di Indonesia; Ketiga, untuk memberi masukan atau kritik terhadap MK.
Mahfud MD yang juga guru besar hukum tata negara tersebut mengatakan, “Teori yang paling tinggi di dalam hukum tata negara itu adalah teori bahwa keberlakuan hukum tata negara di suatu negara tidak harus ikut teori pakar atau yang berlaku di negara lain, tetapi ikut apa yang ditetapkan oleh Negara itu sendiri sesuai dengan hasilnya terkait dengan poleksosbudnya masing-masing negara.” Pungkasnya. (rn/read)
Sumber: Antara