Yudhia Perdana Sikumbang (Foto: detiknews). |
rilisNET, Jakarta – Pasca lahirnya UU desa nomor 6 Tahun 2014 dan dengan ditetapkannya Dana desa yang bermilyaran setiap tahun, yang mana peruntukannya untuk dan demi kepentingan pembangunan desa, secara signifikan mulai di lirik oleh pemerhati, ketertarikan akan pembangunan desa pun mulai dirasakan, desa yang dulunya sepi sunyi tidak ada yang memperhatikan yang sering jadi lelucon dipandang sebelah mata, kini mulai dilirik sana-sini seperti gadis seksi yang diperebutkan oleh pemuda.
Perlahan banyak orang yang mulai tertarik untuk bisa memajukan desa apakah itu terjun langsung lewat politik praktisnya atau hanya manjadi bagian dari aparatur desa itu sendiri, dengan membantu pekerjaan Kepala desa tentunya dengan tupoksi pendamping desa.
Secara umum pendamping desa memiliki tugas untuk mendampingi desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dengan berbekal keahlian diri sebagai pendamping profesional.
Meski demikian, tak sedikit masyarakat yang menilai jika kinerja pendamping desa yang seyogyanya dituntut untuk memiliki kreativitas dan kemampuan diri tinggi dalam membaca kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya yang ada di setiap desa, namun nyatanya dirasa belum maksimal untuk membantu membangun masyarakat di desa.
Fakta dilapangan di tiap-tiap desa, masih banyak ditemukan Pendamping desa yang harus dan idealnya mendampingi untuk satu desa, tapi malah kemudian memegang sampai 3-4 desa sekaligus, itu dikarenakan kurangnya tenaga pendamping desa.
Jika kita bertanya, apakah dirasa pendamping desa yang ada telah mampu membantu meringankan kerja kepala desa sesuai dengan tupoksi pendamping desa? Jawabannya lagi-lagi belum optimal itu bisa dilihat sampai hari ini, Penulis pernah mewawancarai salah satu kepala desa, yang mana beliau mengaku tugas dari pendamping dsa sendiri boleh dikatakan tidak membantu.
Pertama, banyak pendamping desa yang tidak berkompeten untuk membantu tugas kepala desa, kedua, belum lagi ada oknum pendamping desa malah tidak bisa mengunakan laptop, itulah info yang pernah penulis dapat.
Meskipun demikian tak pelak kita sertamerta menyalahkan pendamping desa, yang harus kemudian kita evaluasi adalah sistem perekrutan, kemudian kualifikasinya serta transparansi dari perekrutan pendamping desa tersebut.
Penulis dalam hal ini mempunyai beberapa opsi agar kedepannya pendamping desa bisa kemudian maksimal dalam melaksanakan tugas khususnya membantu kepala desa.
Perbedaan mendasar bentuk pendampingan paska ditetapkannya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa adalah menuntut para Pendamping Desa untuk mampu melakukan transformasi sosial dengan mengubah secara mendasar pendekatan “kontrol dan mobilisasi” pemerintah terhadap desa “menjadi pendekatan” pemberdayaan masyarakat, desa-desa didorong menjadi subyek penggerak pembangunan Indonesia dari pinggiran, sehingga mampu merealisasikan salah satu agenda strategis prioritas Pemerintahan Jokowi-JK yaitu “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan”.
sebelum kita melanjutkan lebih jauh pembahasan tentang Pendamping desa, terlebih dahulu kita lihat, bahwa aparatur desa serta kepala desa hari ini sangat mengeluhkan banyaknya lembaga-lembaga yang mengawasi Dana desa, mulai dari daerah pengawasan daerah, TP4D kejaksaan negeri, LSM, Babinkamtibmas, Polsek, Polres (yang baru Mou dengan kemendagri) dan dari Pusat satgas dana desa apakah itu BPK, KPK dan belum nantinya hadir Densus Tipikor. Masih banyak lagi, itu kemudian Bagaimana tidak membuat kepala desa beserta aparaturnya keringat dingin dalam bayang-bayang pengawasan.
Dalam hal ini sangat masuk akal jika banyak keluhan-keluhan yang disampaikan mereka merasa ditekan dari banyaknya lembaga pengawasan yang mengawasi, tapi menurut penulisi itu tidak kemudian menjadi alasan, sebagai pemangku jabatan kita harus bisa bertanggung jawab dengan apa yang kita pegang, selagi kita tidak terlibat kita jangan takut.
Faktanya kita lihat politik pedesaan sekarang makin nyentrik dan semakin menarik untuk diikuti pasca lahirnya UU desa, banyak masyarakat yang mencalonkan sebagai kepala desa, animo masyarakat tinggi, padahal desa dulu begitu sunyi dan sepi, tidak ada salahnya kita mengikuti perkembangan dan atau menjadi bagian dari pengawasan atau masuk kedalam barisan untuk mengambil kendali pemerintahan, khususnya desa.
Terakhir sebagai penutup yang terpenting adalah sekarang bagaimana cara menyiapkan tenaga-tenaga profesional untuk mengawal dan membantu kinerja kepala desa, apakah itu dengan cara merekrut dari tenaga ahli hukum, Akuntansi, dan tekhnik sipil. 3 disiplin ilmu ini dirasa penulis cukup untuk menunjang pembangunan dan membantu pemerintahan desa dengan syarat tenaga yg sudah berkompeten dan pengalaman.bukan sekedar sarjana.
Yudhia Perdana Sikumbang
*Praktisi Hukum (wwn/wwn)
Sumber: detiknews