Foto: Ist |
rilisNET, Aceh Tamiang – Afrijal, wartawan salah satu media online yang bertugas di Aceh Tamiang menolak untuk di Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) oleh Polisi di Polres Aceh Tamiang. Afrijal dilaporkan terkait pemberitaan di website nusantaraterkini.com dengan judul berita ‘Belum Setahun Jalan yang Diawasi Tim TP4D Sudah Rusak’. Dan dia menolak saat di BAP, Selasa (17/9).
Afrijal menolak dikarenakan Pelapor tidak menggunakan kewajiban hak koreksi, adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar, yang telah diberitakan oleh pers tersebut, sebagai mana yang tertuang didalam Undang Undang Pokok Pers nomot 40 tahun 1999, Bab I, Pasal 1 nomor 13.
“Dasar inilah saya menolak untuk di BAP sebab, Pelapor tidak menggunakan regulasi hukum, dalam ketentuan Pers”, Tegas Afrijal kepada media.
Menurutnya, penolakan tersebut sudah sesuai dengan isi dari BAB II, Pasal 4, nomor 4 disebutkan bahwa; dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hal tolak.
“Saya hargai, apresiasi terhadap kinerja kepolisian, namun saya sangat menyayangkan, kenapa pelapor tidak menggunakan haknya, seperti tersebut diatas, untuk itu saya sangat berkberatan dan menolak untuk di BAP”, sebutnya.
Ketua BW PWI Aceh Tamiang, Syawaluddin, mempertanyakan, secara regulasinya, apakah pelapor sudah memenuhi tahapan tahapan seperti dimaksud dalam Undang Undang Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999. Dan MoU antara Dewan Pers dan Polri.
Syawal juga menjelaskan, Bahwa; Pelapor tidak seharuanya melaporkan dugaan pencemaran nama baik ini ke pihak penegak hukum (kepolisian), sebab wartawan dilundungi oleh UNDANG UNDANG POKOK PERS NOMOR 40 TAHUN 1999 yang sifatnya Legspesialis DAN ISI DARI BUTIR BUTIR Memorandum of Understanding (MoU) antara KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA dan DEWAN PERS.
“Saya kira, pelapor belum menggunakan hak jawabnya sebagai bentuk sanggahan, keberatan atas isi pemberitaan tersebut, yang berindak untuk dan atas nama perusahaan, pase ini harus dilalui oleh pelapor”, katanya.
Dia menamabahkan, setelah dimuatnya hak sanggah tersebut di nusantaraterkini.com, dan isi sanggahannya dibaca oleh Pelapor, setelah dilansir, lalu masih juga kurang puas atas isinya, Pelapor punya hak untuk meneruskan Laporannya ke Dewan Pers.
Dan bukti lansiran berita hak sanggah yang dimuat oleh nusantaraterkini.com. adalah sebagai alat bukti dipengadilan Dewan Pers dan memiliki kekuatan hukum tetap, serta mengikat kepada Pelapor dan Terlapor.
“Saya tegaskan, delik pers bukan delik pidana, delik pers adalah sengeketa pers bukan kriminalisasi, jadi saya sangat berkebaratan jika kasus ini menjadi delik pidana nanti. Ada upaya mengkebiri hak hak jurnalis dengan mengabaikan undang undang pokok pers”, kata syawal.
Sementara Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) yang diwakili oleh Sawaludin, SH sebagai kuasa hukum berpendapat; kalau Pelapor terlalu dini membawa kasus ini kepihak kepolisian, sebab ada jenjangnya seperti dimaksud dalam Undang Undang Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999.
“Saya kira Pelapor tidak memahami isi dari undang undang pers, sehingga ada kesan pelapor telah melampaui poin poin pokok dari isi undang undang tersebut”, tegas Sawal.
Dia juga mengatakan, kasus Afrijal murni sengketa delik pers, bukan ranahnya pidana. “Aneh kok bisa statusnya ditingkatkan dari penyelidik menjadi penyidik, apakah Pelapor sudah memenuhi jenjang dan haknya”, ujarnya dengan nada bertanya.
Dia juga menambahkan bahwa, upaya sengketa delik pers harus diselesaikan menggunakan undang undang pokok pers bukan harus dipaksakan dengan delik pidana. “Ini saya kira sangat keliru, saya minta agar kasus Afrijal ini ditinjau ulang”, Sebut Sawal.